sastra


Jumat, 30 November 2007

Jalan setapak dari tanah air

Puisi Badru Tamam Mifka

--tentang Nirmala Bonat


Jalan stapak dari tanah air itu menepi impian
Di negeri lain, di dalam tas itu, ada aroma jalan
Terbawa diantara tumpukkan baju gadis sembilan belasan
Yang bau parfum murahan, bau tumpahan teh dan noda perih

Entah shubuh keberapa lewat
Barangkali ada mata yang terjaga sealu
Diseputar pejam yang hangat, yang liat

Tetapi kesetiaan itu, Tuan dan Nyonya, mau bertahan
Melayani sisa-sisa luka yang pelan dirobek
Seperti angka-angka di kalender
Sebab kalian meminta, lalu anak-anak kampung
Kelak merayu, tetangga bertamu dan orang tua menunggu
Sepertinya seratus telinga telah
dibuka lebar-lebar—seperti saku baju dan celana—sekedar
dengar kabar.

Entah shubuh keberapa lewat
Alarm berbunyi cepat
Mengumpat mimpi yang tak sempat

Dan ia pulang setelah menemui cara lain
untuk berdandan: mandi air panas dan kulit dada
yang disetrika, dirapikan seperti pakaian majikan

Barangkali tak ada cerita, hanya kesah kekerasan
--hanya kesah anjing yang dirantai dan dihantam
cawan besi, dipukul gantungan baju
Hingga lupa jalan setapak itu, setapak tanah air itu.

Ciromed, 2005

posted by wscbandung @ 16.22, ,


Di Negeri ini Cinta digusur Kekuasaan

mata hati, mata gelisah
mata luka sejarah
di negeri ini cinta digusur kekuasaan
air mata ditumpahkan
orang-orang lemah djatuhkan

manusia-manusia berdesakan dalam ruang yang gelap dan putus asa
orang-orang kalah dipecah-pecah
mereka dikerat-kerat, digilas khianat
mereka dirampok haknya, dicekik kemerdekaannya

jika negara adalah neraka
maka rakyat adalah gelora luka yang diperdagangkan
ribuan orang telah disampahkan pembangunan,
dibutakan jiwanya, dibisukan hatinya dan
ditulikan kesejahteraannya
keringat bercampur air mata kehilangan
kemiskinan meradang menerjang keseharian
gedung-gedung dibangun tapi pengangguran dihiraukan
anak-anak dididik jadi gelandangan
diantara gelepar kelaparan dan darah dingin keinginan
rakyat merajut nganga rasa pedih
mereka dicabik-cabik rasa sedih dibawah telapak
kaki pejabat dan hisap pengusaha
dibawah tapak sepatu-sepatu tentara
dibawah harapan-harapan yang dihancurkan
mereka dihancurkan

jika kerja adalah serigala
maka mereka adalah ribuan buruh bermadi peluh
meletakkan nyeri berkelindan diantara hak,
upah dan vagina yang dilecehkan majikan
mulut mereka dikunci, dibungkam baja di penjara-penjara janji
runtuhlah marsinah-marsinah diceruk kata kekuasaan
tanpa sempat bicara dengan keadilan

jika ladang adalah murka
maka mereka adalah petani-petani yang sakit hati
menyandarkan rasa resah di tembok-tembok para tuan tanah
menggarap pengap lahan pertanian dan gabah yang disampahkan
ribuan penduduk melata menyerbu kota, bermain dadu kematian
di lubang-lubang nista

jika lapak adalah perkara
maka mereka adalah para pedagang yang dibuang
mengais mimpi yang robek di tepi trotoar dan di pasar-pasar
ada banyak orang gusar dengan kaki yang dipatahkan,
dilumpuhkan dan direbut mata pencahariannya
atas nama keindahan!
atas nama ketertiban!

jika pendidikan adalah penjara
maka mereka adalah mahasiswa-mahasiswa
seperti batu-batu bernyawaa
dicetak jadi robot dan dikutuk sekedar bentuk
orang-orang miskin dihardik di pintu pendidikan
perempuan-perempuan direndahkan di teras sekolah,
kampus dan seminar-seminar ilmu pengetahuan

jika keluarga adalah siksa
maka mereka adalah isteri-isteri yang disakiti
diputar-putar dalam kerja paksa hanya dengan upah sejuta serapah
dikasari dalam tidur paksa yang dibungkus nafsu
diperkosa dosa dan diperkosa rasa tanpa punya hak
untuk berbahasa
diikat harkatnya
dibabat martabatnya
dianiaya cintanya
diremehkan kemampuannya
lalu dijahit mulutnya dengan slogan keadilan kurapan
atas nama ulama yang mengatasnamakan agama
atas nama tuhan dan kekuasaan

jika bangsa adalah angkara
mereka adalah anak-anak bangsa yang
dilecehkan kemakmurannya
jiwa mereka dicatat untuk ditangkap,
dibungkam dan dilebam malam

mata hati, mata gelisah
mata luka sejarah
di negeri ini cinta digusur kekuasaan
air mata ditumpahkan
orang-orang lemah dilumpuhkan…

Tugu Perjuangan Bandung, Maret 2006

Label:

posted by wscbandung @ 16.21, ,


Maroko, 2000

Puisi Badru Tamam Mifka

jalan perempuan diluruskan dan
beribu suara menggetarkan arus Bou Regreg
tuhanku, sampaikan suarasuara itu lewat sungai,
pada kaki sang raja

seperti puisi, biarkan merajam-melubangi
batu dan besi
seperti awan berarak, biarkan anakanak
perempuan itu berjalan bersama anakanak lelaki,
turut menaiki tangga sekolah, mempercantik hak,
mendapat keadilan dan menyatakan masa depan

lalu cuaca menurun, tersekat ditepian
jalan Rabat dan menggumpal duka
ditikungan Casablanca
sungguh, tuanku, ribuan perempuan
merindukan hurufhuruf, pembagian harta yang adil,
pelayanan yang baik bagi mereka
yang akan melahirkan keturunan
dan mereka yang berhak menolak hak lelaki
untuk membunuhnya

tuhanku, tuanku, beribu suara itu
seperti sungai Bou Regreg yang tak mati
seperti doa yang bangkit

Tanjungsari, 2004

Label:

posted by wscbandung @ 16.19, ,


Aku Bilang, Aku Seorang Pelacur

Cerpen Badru Tamam Mifka

Ayah saya punya isteri empat. Dan saya, tentu saja, hanya punya satu ibu. Eliastri Pantri, isteri pertama ayah saya, adalah ibu saya (ketika masih muda ibu sangat cantik). Lantas ayah menghamili ibu dan lahirlah saya. Nama saya Maya Dwiraya. Catat, saya seorang pelacur. Saya punya satu anak, namanya Perempuan. Dia kini masih berusia sepuluh tahun. Jangan bertanya siapa suami saya, karena anak saya pun tak pernah saya ajari untuk bertanya siapa ayahnya. Lelaki saya banyak. Anak saya satu. Tapi saya hanya ingin mengatakan, bahwa lelaki-lelaki saya adalah puluhan Karun yang lenyap ditelan bumi. Lelaki-lelaki saya adalah puluhan Firaun yang hilang ditelan lautan—mereka tak benar-benar mau menjadi suami saya, tak benar-benar mau menjadi bapak bagi anak saya. Setelah ibu saya meninggal, saya kini sendiri, maaf, maksud saya kini berdua, tentu dengan anak perempuan saya. Dia anak yang sangat pendiam. Dia tak pernah bertanya apa pekerjaan saya. Dia tak pernah bertanya siapa ayahnya. Dia bisu. Tak bisa bicara.
Konon, ayah saya menikahi Santi Dipyati ketika dua tahun sebelumnya menikahi ibu saya. Lalu satu tahun kemudian ayah saya menikahi Lorena Purna. Lalu Tina Nana. Setelah itu, ayah tak menikah lagi. Mungkin sudah tua. Saya tak paham pikiran ibu seperti apa ketika ia dengan mudah memberi ijin pada ayah untuk menikah lagi. Mungkin ibu takut ayah marah dan dicerai. Atau takut miskin. Atau takut dicap sebagai isteri yang tak patuh alias durhaka pada suami. Entahlah.
“Aku sangat mencintainya.” Ucap ibu masygul suatu ketika. Tapi saya pikir, ayah tak mencintai ibu. Tapi ibu tak suka dulu saya bicara begitu tentang ayah. Dia tersinggung. Dia menangis. Dulu, ibu seperti mencoba memahami ayah dengan hati-hati.
Bicara tentang menangis, saya sering mendapati anak perempuan saya menangis diam-diam di kamarnya, bila hari menjelang larut malam. Barangkali dia ingin bermain di luar rumah seperti anak lainnya, tapi saya tak mengijinkannya. Alasannya memang picik, saya kasihan padanya karena dia seringkali diejek anak-anak kampung: ibumu pelacur! Ibumu pelacur! Atau mungkin karena ia ingin sekolah dan saya tak pernah memberinya kesempatan untuk itu. Alasannya memang klise: tak punya biaya, titik! (Tapi saya selalu menyuruhnya datang ke rumah Maemunah, anak tetangga. Saya menggajinya. Biarlah Perempuan belajar menulis dan membaca padanya.) Atau mungkin ia menangis karena mendapati dirinya adalah seorang perempuan yang lahir sebagai manusia yang tak bisa bicara?
Dulu, ibu saya pernah berani menangis dihadapan ayah. Dia protes. Saya rasa ia terlambat ketika sudah beberapa tahun akhirnya mulai bicara tentang isteri paling tua, cemburu, sakit hati dan sebagainya dan sebagainya. Pada mulanya saya menduga, di usia yang setua itu, ayah akan menyikapi keluhan ibu dengan bijak dan baik. Tapi dugaan saya tak benar. Ayah malah menampar ibu di hadapan ketiga isterinya yang lain. Hati ibu bulat, akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari rumah, dari ayah. Ibu pindah ke kota lain membawa serta saya (ketika itu saya masih berusia sembilan tahun). Sekolah saya tak bisa dilanjutkan lagi. Setelah itu, ibu bekerja jadi pembantu rumah tangga, dan saya—diam-diam—membersihkan kaca jendela mobil di perempatan lampu merah. Tentu, tanpa sepengetahuan ibu.
Dari sanalah, jalanan melahirkan saya menjadi seorang pelacur. Beberapa bulan menjadi seorang pelacur, mendadak saya pun hamil. Entah benih siapa yang membengkakkan perut saya. Saya lupa. Ketika itu ibu marah besar mengetahui saya jadi pelacur dan hamil. Saya menangis dan takut. “Menjual harga diri untuk bertahan hidup adalah sebuah kesalahan.” Kata ibu kala itu. Tapi perut yang kian membesar tentu bukan sebuah kesalahan. Biarkanlah anak saya lahir, meski tanpa kehadiran seorang bapak, meski tanpa pengakuan dari neneknya.
Ketika anak saya menginjak umur satu tahun, ibu meninggal dunia. Kemudian saya sering ziarah ke makamnya. Tapi saya kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa setelah ziarah ke makam ibu, saya masih kembali di ziarahi puluhan lelaki di malam-malam yang dingin. Hari-hari yang belakangan membuat saya muak. Engkau harus tahu, bagi saya acapkali hidup butuh uang lebih, dan saya harus belajar menerima pekerjaan saya.

***
Usia saya kini 29 tahun. Barangkali. Dan anak saya hari ini—seharusnya dia tahu berapa umurnya. Anak saya berusia tujuh belas tahun, atau mungkin lebih. Dia tumbuh menjadi perempuan yang cantik, tapi sayang, bisu. Mungkin dia mulai yakin dia kesepian. Tapi saya suka puisi-puisinya. Meski di tulis dengan tulisan-tangan yang jelek, tapi saya dapat membacanya (saya tak jarang mengkhayal dia membacakannya untuk saya). Setiap malam dia tampak menulis puisi. Sendirian. Bahkan saya senang dalam beberapa puisinya, dia jatuh cinta pada seorang lelaki. Dia sudah percaya diri dengan perasaannya sendiri. Saya tak tahu siapa lelaki itu, toh dia tak pernah bicara pada saya. Sudah saya bilang, dia bisu. Barangkali diapun tak tahu siapa nama lelaki itu, atau mungkin dia hanya melihat lelaki itu lewat depan rumah, dan Perempuan melihatnya diam-diam dari jendela. Entahlah.
Saya sadar, saya telah cukup tua. Akhir-akhir ini saya seperti merasa tubuh saya menabung penyakit yang sewaktu-waktu siap meledak. Belakangan ini, saya punya niat berhenti jadi pelacur. Kalau saya jujur, ternyata menjadi seorang pelacur banyak menerima resiko buruk. Saya ingin sehat jasmani dan rohani, baik-baik saja. Hidup ternyata tak cukup utuh dibeli dengan uang. Saya enggan Perempuan merasa kesepian, dengan keadaan saya yang akan membuatnya tak nyaman. Atau setidaknya, keadaan sehat dan baik-baik saja lebih beruntung ketimbang merasa ngeri harus menerima usia yang mulai menua, dengan jiwa yang lepuh, pikiran yang rapuh.
Tapi saya terkadang merasa tak yakin sudah tua ketika suatu hari seorang lelaki, yang baru saya kenal disebuah bis kota, sering datang ke rumah (dia lebih muda dari saya) dan akhirnya mengajak saya menikah.
“Saya benar-benar ingin menikahimu, Maya.” Ucapnya berwibawa. Tapi saya bilang, saya seorang pelacur. Mendengar itu, dia sejenak terlihat sedikit resah.
“Sekarang pulanglah,” ucap saya dingin, “kalau kamu benar-benar ingin menikahi saya dengan keadaan mantan pelacur dan punya anak satu, datanglah besok.” Keesokan harinya, dia tak muncul. Saya tebak pasti dia merasa tertipu.
Tapi kejadian itu, dalam beberapa hari kemudian, sempat mengganggu pikiran saya. Benarkah saya akan terus sendiri, tanpa suami? Masihkah saya dalam usia setua ini dapat menarik hati lelaki? Atau adakah lelaki yang mau punya isteri mantan seorang pelacur? Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran dalam ruang benak saya. Pertanyaan-pertanyaan itupun sekaligus menghukum diri saya ketika saya tak kuasa menolak impian tentang seorang lelaki yang mau menikahi saya, dengan melupakan pengalaman buruk saya yang sudah-sudah, mengajak saya mengisi rumah yang sederhana, dan menyayangi anak saya, Perempuan. Ya, apakah saya tak ingin hidup normal?
Bicara tentang hidup normal, saya ingin cerita tentang Perempuan hari ini. Di umurnya yang ke 20 (tak terasa), anak saya itu sudah mulai hidup normal, maksud saya, dia sudah punya gairah pergaulan. Saya senang dia sudah pandai merawat diri, berdandan dan tersenyum sendiri di depan cermin. Bahkan sesekali dia sudah mulai menulis keinginannya dalam sehelai kertas dan menyerahkannya pada saya. Saya tahu dia ingin main ke rumah. Saya tahu dia ingin sendirian di dalam kamarnya. Saya kini jadi mudah membaca keinginan-keinginannya. Dia sudah pintar menulis. Tapi dia lebih dekat dengan Maemunah anak tetangga ketimbang ibunya. Itu berarti Maemunah lebih tahu perihal persoalan pribadi Perempuan ketimabang saya, ibunya. Maklumlah, dulu saya terlalu keras padanya, terlalu hirau. Mungkin dia masih takut pada saya. Tapi kata Maemunah, Perempuan kini tengah dekat dengan seorang lelaki. Lelaki itu seorang mahasiswa yang rumahnya di ujung jalan dekat mesjid agung alun-alun. Saya tak tahu, apakah mereka pacaran atau tidak.
Tapi saya bahagia mendengar kabar terakhir itu; Perempuan sudah punya gairah hidup, gairah bergaul…

***

Tiga minggu berlalu. Malam ini, saya melihat Perempuan menangis lagi. Saya menghampirinya perlahan. Saya berharap perempuan dapat memberitahu saya kenapa dia menangis. Selalu saja, Perempuan masih tak terbuka pada saya. Selalu saja, Perempuan enggan sekedar berkesah pada saya tentang air matanya. Dia kini hanya menangis, tak lebih dari itu. Tapi saya yakin, Maemunah dapat memberitahu saya apa yang membuat Perempuan belakangan ini menangis. Maemunah bilang, Perempuan kehilangan cinta seorang lelaki—saya tak tahu, apa kata “kehilangan” itu bearti Perempuan putus cinta atau cinta yang tak sampai. Entahlah, Maemunah juga tak tahu persis. Tapi saya hanya sedikit tertawa mendengar kabar dari Maemunah itu. “Kegagalan cinta itu hal yang biasa, sayang.” Ucap saya pada Perempuan keesokan harinya.
Beberapa hari kemudian, kondisi fisik saya ternyata lebih baik dibanding ketika saya masih menjadi seorang pelacur. Saya jadi merasa sehat, dan cukup tidur. Perempuan juga sudah mendingan kadar sakit hatinya karena asmara. Dengar, menurut kabar terbaru dari Maemunah, anak saya sudah mulai banyak teman, ah, meski saya tahu dia tak bersekolah dan bisu sekalipun—mungkin karena dia cantik (saya selalu gembira dengan ucapan itu). Lihat Perempuan lebih riang dalam beberapa hari ini. Saya berharap kehidupan kami akan berjalan baik dan normal. Saya juga harus mulai belajar bersikap lembut pada anak saya.
Untuk itu, diam-diam saya terkadang menyelinap ke dalam kamarnya. Tentu saja, ketika dia tak ada di rumah. Kupelajari puisi-puisinya. Kubuka buku hariannya. Kupahami keinginan-keinginannya. Saya ingin tahu sifat-sifatnya—Wah! Saya suka puisi anak saya yang satu ini:

Berabad aku diam dalam bisu-sepi malam
Disinilah gemetarku mencinta kata-kata
Ibuku, ibuku, gema rahasia yang melambat
di kelu lidahku.

Saya membaca puisi itu berulang-ulang. Saya masih tak mengerti apa maknanya. Tapi saya senang dan yakin puisi itu bercerita tentang saya. Lalu buku hariannya itu lebih bercerita tentang catatan kesepian, kebisuan, cinta, terutama laki-laki…Hm, catatan tanggal ini yang beberapa hari yang lewat sempat membuat Perempuan menangis.

10 Mei
Dari banyak laki-laki yang kukenal, aku jatuh cinta pada Dima Luma. Sungguh tak kuduga, diapun mencintaiku. Dia terus mengejarku, ingin mendapatkan cintaku. Tapi karena cintaku ini, aku ingin jujur. Lalu kukatakan padanya lewat surat bahwa aku bisu, dia bilang: biarin. Lantas dalam surat kedua, aku bilang, aku seorang pelacur. Dia mendadak tak ingin dekat denganku lagi…

Dada saya tiba-tiba terasa remuk membaca usai catatan itu. Perempuan, anak saya yang bisu itu, seorang pelacur…? []


Vijaya Kusuma, 2004
http://Bangkawarah.blogspot.com
mifka15@yahoo.com

Label:

posted by wscbandung @ 16.17, ,


Restui Aku...

Cerpen: Ria Jumriati*


Yona memandangi wajahnya dicermin. Hidung, bibir, kening dan lengkungan alis yang begitu alami menaungi lugu kedua bola matanya. Entah apa yang membuat Yona kini tiba-tiba tersadar, ia memiliki anugerah kecantikan yang tak pernah dipuji sekalipun oleh suaminya sendiri. Meski hampir semua teman-teman di arisan menjulukinya mirip Penelope Cruz bahkan tak sedikit juga yang meliriknya iri.

Yona adalah produk Cinderella masa kini, terlahir dari keluarga sederhana yang disunting oleh pria kaya namun sangat menganggap rendah arti dan keberadaan seorang wanita. Baginya perempuan hanyalah pencetak keturunan, pemuas kebutuhan seks dan pelampisan emosi saat stress. Dan anehnya, ada saja orang tua yang mau menggadaikan anak gadisnya pada pria seperti Malvin hanya karena kegemerlapan materi. Dirumah, Yona memang diperlakukan sebagaimana layaknya seorang istri. Dinafkahi lahir dan batin namun ia sama sekali tak boleh peduli dengan apa yang dilakukan Malvin diluar sana. Yona bahkan tak punya hak untuk sekedar menanyakan siapa wanita yang hampir setiap malam menelpon suaminya. Dan Yona menerimanya, ia sudah cukup bahagia dengan kelahiran Clarissa – Putri mungilnya. Pernah saat sms Malvin berbunyi dan Yona mempunyai kesempatan untuk membukanya, ternyata terdapat deretan kalimat mesra dari seorang wanita bernama Erin. Namun sekali lagi Yona tak pernah berani bertanya apalagi membahasnya. Entahlah, mungkin ketergantungan materi yang sangat tinggi hingga membuat ia begitu terpedaya dan pasrah pada kekuasaan yang dimiliki Malvin.

“Suamimu pasti selingkuh” Hanny menanggapi keluhan Yona saat tengah menunggu anak-anak mereka di sekolah yang sama.

“Aku bahkan merasa lebih parah dari itu” Ujarnya dingin
“Maksudmu..mereka telah menikah ?”

Yona menatap sendu wajah sahabatnya. Sementara Hanny menggelengkan kepalanya
“Yona, kenapa sih kamu kok diam saja. Kamu kan istri sahnya. Lah kok mau sih diperlakukan begitu sama suamimu sendiri ?”

“Sejak menikah dengan Malvin aku memang telah akrab dengan luka, kecewa dan cemburu. Hingga aku sudah mati rasa dengan rasa-rasa seperti itu”

“Tapi bagaimana dengan hak mu sebagai istri dan Ibu dari Clarissa ?”
“Malvin cukup mengerti akan hal itu, buktinya dia tetap menafkahi kami”
“Dan buatmu itu sudah cukup ? Hanny mengibaskan lengannya “Yona, sudah tidak zamannya lagi penindasan seperti ini. Kita sebagai wanita punya hak yang sama dengan laki-laki. Jangan mentang-mentang dia menafkahi lantas hak azasi kita juga bisa dibelinya. Bagaimana jika suatu saat dia mencampakkanmu begitu saja ?”

“Tapi Malvin laki-laki yang bertanggung jawab” Ujarnya masih mencoba membela “Ia bahkan berkali-kali meyakinkan aku bahwa apapun yang terjadi ia akan tetap memperhatikan aku dan Clarissa, mudah-mudahan ia pun masih memiliki iman….”

Hanny tertawa panjang menanggapi keluguan sahabatnya.
“Dan kamu percaya ? Dan kenyataaannya ? Yona, bagi laki-laki seperti Malvin, jarak antara iman dan libido hanya setipis selaput dara”

“Tapi yang kutahu dulu Malvin tidak seperti itu kok, aku tahu betul sifat dan tabiatnya sebelum kita menikah” Ujarnya mendesah
Hanny tersenyum kecut menanggapi.

“Yona, sampai kapanpun kita tak akan pernah bisa memahami sifat suami kita masing-masing. Selalu ada sisi gelap dari diri mereka yang tetap menjadi misteri sampai kapanpun. Ibaratnya setiap wanita itu menikahi Dr. Jackyl and Mr Hide. Orang yang dahulunya begitu lembut dan penuh kasih tapi bisa menjadi buas dan tak berperasaan disuatu masa dikehidupan pernikahan kita. Iya kan ? Jadi, menurutku…tidak seharusnya kita berpasrah diri 100% pada mahluk berjenis lelaki” Tutur Hanny mantap. Lagi-lagi Yona tersenyum kecut.

“Aku hanya mencoba mengingatkanmu. Jangan pernah takut kehilangan Malvin semata-mata karena dialah yang menopang hidupmu dan Clarissa. Dunia ini luas, banyak kesempatan bisa kita dapatkan sebagai perempuan diluar sana. Kalau setiap laki-laki bisa dengan gampangnya berpoligami atas nama cinta bahkan syahwat semata. Itu berarti tidak tertutup kemungkinan bagi kita sebagai perempuan untuk melakukan hal yang sama kan ? yah, paling tidak selingkuh kecil kecilan, sah sah saja kan?.” Tutur Hanny seraya tersenyum menggoda. Yona hanya menanggapi dengan senyum tipis.


Yona terbaring resah dipembaringannya yang luas. Jam dinding hampir menunjukkan pukul 11 malam, namun seperti biasa Malvin belum lagi ada disisinya. Rindukah aku ? Cintakah aku ? Batinnya bertanya resah. Sementara angannya mengembara pada sebentuk wajah milik Adit. Sebulan lalu, mereka tak sengaja bertemu di sebuah mall. Mata mereka saling bersirobok tajam, menggores kembali luka-luka rindu yang telah mengering dihati masing-masing. Adit adalah cinta pertama Yona, dan menurut kebanyakan orang “First Love Never Die” benar adanya. Cinta Yona tak pernah mati untuk sosok itu. Adit sampai kapanpun tetap mempunyai ruang tersendiri dibenaknya. Dan yang lebih memporak-porandakan hatinya, ternyata Manager Restauran cepat saji itu masih sendiri. Adit bahkan sama sekali tak dapat menyembunyikan kerinduannya pada Yona, kalau saja tak ada Clarissa dan suster yang menemaninya. Ingin rasanya ia berhambur kedalam pelukan Adit seperti masa – masa lalu.

Satu bulan lebih sudah Yona membiarkan jiwanya berselingkuh seru dengan bayangan cinta masa lalunya. Sampai kapan ? Tak seorang pun tahu sampai akhirnya ia tak sanggup untuk tidak bercerita pada Hanny. Mata sipit Hanny terbelakak tak percaya tapi kemudian tertawa panjang.

“Aku nggak sangka kamu ternyata bisa senekat itu!” Yona tersipu malu dengan rona merah dadu di pipinya.

“Tapi, itu manusiawi kok Na. Jadi perempuan memang tidak harus selalu jadi pihak yang menunggu. Menunggu untuk dikhianati, menunggu untuk dipoligami bahkan menunggu untuk dicampakkan. Baguslah, itu tandanya kamu berpikiran maju”

“Ini bukan aksi balas dendam, Han” Timpalnya serius.

“Apa bedanya ? Yang penting kamu tidak terlalu terluka dengan perselingkuhan suamimu kan ? tidak merasa kehilangan dan terlalu dikhianati. Iya kan ?

Yona hanya membisu. Namun batinnya mengiyakan hal itu.

“Aku takut Malvin tahu” Ujarnya lirih. Sekali lagi Hanny tertawa lepas. “Kenapa harus takut. Apa kamu pernah berpikir apakah Malvin khawatir kamu mengetahui perselingkuhannya ? Aku bukan mau memanas-manasi perkawinan kalian. Cuma aku gemas melihat hubungan kalian yang begitu timpang dipihakmu”

“Tapi…apa aku berdosa?”

“Ahh, kamu lugu amat sih ? Kalau laki-laki bisa buat dosa, kenapa perempuan nggak ? Yang penting pertanggung jawabannya kan masing-masing. Sudahlah, sementara Malvin asyik menikmati kemesraan bersama Si Erin. Kenapa kamu tidak mempergunakan waktumu bersama Adit ?” Timpal Hanny semakin antusias.

Ada yang tergelitik di hati Yona mendengar semua penuturan Hanny, beberapa menit lalu Adit baru saja mengirim pesan singkatnya. Sangat singkat namun bermakna panjang dan dalam bagi seorang Yona. “Aku tunggu sore ini ditempat biasa”. Dan Yona pun melangkah ringan menemui pujaan hatinya. Dan haripun berlalu dalam guratan kisah berbeda bagi setiap insan penghuninya. Seperti yang terjadi pada sepasang suami istri ini. Setiap hari Malvin hanya menyisakan beberapa jam untuk keluarganya sementara selebihnya diberikan kepada Erin. Dan Yona pun berbuat hal yang sama. Mereka sibuk mengukir harap dan cinta pada prasasti berbeda, pada altar terpisah dan mengingkari perjanjian sakral yang telah terikrar lewat sumpah dihadapan sang Pencipta. Tapi apa artinya ? Jika pada saat melangkah keduanya tak memiliki aura rasa yang senada. Berkerudung kemunafikan dan mungkin juga nafsu tak terbasuh.


Dan sore ini. Yona kembali menemui sahabatnya. Wajahnya murung namun tak bisa menutupi semburat asmara yang tengah meronai sanubarinya.

“Adit ingin menikahiku” Yona berucap lirih
“Tanyakan hati kecilmu. Seberapa mantap dan pantas hal itu kamu jalani”

“Aku takut Malvin…..” Yona pun menangis tersedu. Hanny menepuk-nepuk bahu sahabatnya pelan. “Menurutku, ini cuma masalah waktu. Cepat atau lambat Malvin pun pasti akan meminta izinmu untuk menikahi Erin”

“Lalu apa yang harus kulakukan ?”

“Kamu punya hak untuk mencintai dan dicintai. Punya hak untuk jatuh cinta pada siapa saja dan memutuskan hidup dengan siapapun termasuk Adit. Dan yang lebih penting, punya hak untuk bahagia dan terlepas dari penindasan Malvin”

“Tapi aku masih berstatus istrinya…apa kata orang nanti ?”

“Malvin pun masih berstatus suamimu dan kini tengah menjalin asmara dengan wanita lain. Sekarang pulanglah, tenangkan hatimu. Dan pastikan, apapun keputusanmu selalu berikan yang terbaik buat Clarissa “

Malvin baru pulang setelah tengah malam dan Yona belum lagi tertidur. Seperti biasanya harum parfum wanita segera saja menusuk hidungnya namun tak lagi menoreh luka seperti waktu lalu.

“Kenapa belum tidur” Ujar Malvin sinis

“Aku mau tidur seperti layaknya istri yang normal, tapi tidak bisa sebelum kepura-puraan ini kita akhiri “ Sahut Yona pelan namun sedikit mengusik kecurigaan Malvin

“Apa maksudmu ? Nggak usah cari gara-gara deh. Aku capek !
“Aku bicara sopan dan baik-baik. Aku juga capek dan mau ini segera berakhir”
“Maumu apa sih ?! Tantang Malvin dengan mata berkilat penuh kemarahan

“Aku mau menikah lagi. Mohon restui aku….” Sahut Yona pelan dan datar namun bagai sambaran petir disiang bolong bagi Malvin

“Dasar Sundal ! Jadi selama ini kamu berselingkuh? Hah ! Malvin baru saja hendak mendaratkan pukulannya ke wajah istrinya namun dengan sigap Yona langsung menangkisnya. Dan itu sangat diluar dugaan Malvin yang selama ini menganggap Yona hanyalah wanita lemah tanpa daya.

“Aku terima julukan itu. Tapi bagaimana denganmu sendiri ? Jangan kira aku terlalu bodoh untuk mengetahui perselingkuhanmu dengan Erin ! Balas Yona berang.
“Aku laki-laki ! Aku lebih pantas melakukan !
“Meski aku perempuan. Tapi aku juga manusia. Aku punya hak untuk mencinta dan dicinta. Punya rasa dan hak untuk jatuh cinta pada siapapun yang aku suka seperti halnya dirimu!” Sahut Yona tak mau kalah. Malvin seolah kehilangan kata-kata ia terduduk lemas dengan nafas memburu cepat. Egonya sebagai laki-laki tentu saja sangat terhina. Namun tiba-tiba Yona bersimpuh di lutut suaminya. Ia menangis.

“Maafkan aku. Tapi, mohon restui aku….”
“Merestui mu ? Apa aku sudah gila, dimana harga diriku sebagai suami ?!
Tidak mungkin ! Hardiknya sambil mendorong tubuh istrinya.

“Percuma kita teruskan pernikahan tanpa cinta ini, kasihan Clarissa. Relakan aku hidup bersama seseorang yang benar-benar kucintai dan mencintaiku. Begitu pula denganmu. Aku merestuimu untuk hidup bahagia bersama Erin tanpa harus terus menerus membelakangiku “
“Aku tidak mau menceraikanmu ! hardik Malvin keras.
“Sudahlah Vin, tak usah membohongi hati kecilmu sendiri semata-mata karena terlalu mendewakan harga dirimu sebagai lelaki. Ini cuma masalah siapa yang lebih dulu meminta izin untuk berpisah kan ? Toh cepat atau lambat, kamu juga pasti menceraikan aku dan mematangkan rencana hidup kedepanmu bersama Erin.
“Pokoknya, aku tetap tidak mau menceraikanmu ! Malvin bersikukuh.

Melihat Malvin bersikeras seperti itu, ada juga perasaan takut yang merambati benak Yona. Ia takut Malvin hilang kendali dan bisa saja mencekiknya hingga mati saat itu juga. Namun ia hanya melihat kemarahan diwajah suaminya tapi tidak ada tanda-tanda kebrutalan yang akan dilakukannya. Dan itu semakin memacu adrenalin Yona untuk maju selangkah lagi.

“Aku tak memiliki cinta lagi buatmu” Ujar Yona datar dan tenang.

Malvin menatap mata sendu Yona dengan tegang. Mulutnya mendadak terkunci.

“Ceraikan aku dan restui aku untuk menjalin cinta baruku”
Serta merta Malvin berdiri dan hendak melayangkan pukulan ke arah wajah Yona.

“Jangan memperburuk keadaan !” Cegahnya cepat “Semua sudah berakhir Vin, tak ada jalinan rasa lagi diantara kita, akhirilah demi Clarissa”

Setelah itu Yona pun beranjak pergi meninggalkan Malvin dalam amarahnya. Semua memang diluar dugaan laki-laki itu, ia sama sekali tak pernah menyangka Yona yang begitu sabar, menerima dan cenderung terlihat bodoh dihadapannya ternyata bisa mengeluarkan keputusan yang begitu diluar dugaannya. Ia telah salah menilai dan memanfaatkan kesabaran dan kelembutan Yona selama ini. Ada sesal yang merambati hatinya. Ia memang menemukan kenikmatan dan kedahsyatan petualangan cinta bersama Erin, tapi wanita itu tak memiliki nuansa keibuan yang dimiliki Yona. Dan semua telah terlambat, sayangnya Malvin terlalu cepat mencari kekurangan Yona pada wanita lain dan bukan membicarakan dan meminta Yona untuk perlahan saling mengisi kekurangan yang ada. Dan sekali lagi semua telah terlambat……Yona telah membuat keputusan dan itu tentu telah melewati proses luka yang begitu bernanah. Sayangnya Yona tak memilih Malvin untuk menyembuhkannya. Dan tentu saja Yona sangat berhak atas keputusan itu dan tak melulu tunduk dengan doktrin kodrat keperempuanan yang menunggu, yang pada kenyataannya selalu menjadi korban dan pihak yang keseringan dikhianati.***

TAMAT



*http://riajumriati.multiply.com
ria2925@yahoo.com

Label:

posted by wscbandung @ 14.45, ,


Ia Ingin Anaknya

Oleh Badru Tamam Mifka

Perempuan muda itu bernama Ida. Ia tinggal di sebuah kampung di pinggiran kota Bandung. Orang-orang di kampung tahu tentang Ida. Mereka sebut Ida orang gila, barangkali tak lebih. Menurut cerita tetangga, ia berkali-kali gagal berumah tangga. Ia stress. Anggapan Ida gila mulai muncul sejak rumah tangga Ida dengan suami ketiganya berantakan. Rumah tangga yang tak menyenangkan. Banyak pertengkaran. Kasar. Seringkali Ida dikurung suaminya di kamar terkunci. Ida menangis, berkali-kali menanyakan anaknya, lalu menjerit dan mencakar-cakar apa saja, melemparkan barang apa saja. Ida makan, buang hajat, kencing dan tidur di ruangan yang sama. Ia diperlakukan seperti hewan. Tapi ia terus menanyakan anaknya. Padahal Ida tahu, anaknya tak pernah kembali lagi, mungkin selamanya...

Perempuan muda itu bernama Ida. Kelahiran tahun 1980. Tapi usia remajanya gamang. Di usianya 16 tahun, Ida sudah dijodohkan. Pertengahan tahun 1996, ia dijodohkan oleh pamannya dengan seorang tukang becak di desanya. Awalnya Ida menolak perjodohan itu. Tapi pamannya keras kepala. Tapi katanya paman main guna-guna. Dan seperti juga gadis-gadis sebayanya di kampung ini, Ida harus menurut ketika terpaksa berhenti sekolah sejak SD dan segera dikawinkan oleh keluarganya. Padahal, menurut temannya, Ida anak yang lumayan pintar, tapi sayang sekolahnya harus terlantar. Tak jarang Ida membayangkan bisa seperti Farid anak tetangga yang bisa sekolah sampai SMP. Atau seperti Dindin yang bisa sekolah sampai SMA. Tapi Ida dibilangin bapaknya bahwa perempuan mah sudah beruntung bisa sekolah di bangku SD juga. Sekarang tinggal menunggu lelaki yang ngajak kawin saja. Soal sekolah, ibunya bilang Ida lebih beruntung darinya, dari perempuan-perempuan di kampung ini yang kebanyakan tak bisa baca dan tulis; perempuan-perempuan yang akhirnya jadi buruh tani, seperti dirinya.
Pamannya juga bilang Ida harus tahu diri, bahwa bapak dan ibunya keluarga tak punya. Ida harus berhenti jadi beban orang tua. Ida harus nurut ini-itu, termasuk dijodohkan dengan Karim, tukang becak itu. Akhirnya Ida pasrah. Meski ia sadar, ia belum begitu akrab dengan Karim teman pamannya itu. Tapi paman bilang, yang penting berumah tangga, jadi isteri baik pada suami dan tak lagi jadi beban orang tua.
Tapi Ida ingat adik-adik perempuannya. Kedua adiknya yang akan jadi beban orang tua. Kedua adiknya yang mesti segera dipikirkan karena mereka juga terlalu dini putus sekolah dan usia mereka belum dewasa. Ida selama ini yang mengurus mereka. Ida khawatir meninggalkan mereka. Tapi bapaknya bilang, mereka sudah bukan anak ingusan lagi. Mereka sudah bisa makan dan mandi sendiri. Jadi Ida tak perlu khawatir. Toh Ida tak kawin dengan orang jauh. Ida juga masih bisa tinggal di rumah ini.
Setelah beberapa hari dipikirkan, Ida akhirnya mau menikah. Pernikahan pun diadakan sederhana dengan biaya minim dari kedua orang tua pasangan. Mulailah Ida berumah tangga. Meski mereka masih menumpang tinggal di rumah orang tua Ida, terkadang di rumah orang tua Karim. Hari demi hari berganti, Ida melayani suami sepulang kerja, memasak untuk makan sehari-hari dengan jatah gaji 10.000/ bulan dari suaminya. Ida seringkali mengeluh soal biaya kecil itu pada ibunya. Ia tak jarang membayangkan punya uang sendiri, jadi TKW seperti Surti. Jadi buruh pabrik seperti Aminah dan Lia. Tapi itu semua tak pernah terjadi.
Tapi belakangan Ida gembira ketika salah satu adiknya bisa jadi buruh pabrik. Bapaknya yang bantu ia masuk kerja. Ia pinjam dulu uang sana-sini untuk biaya anaknya masuk pabrik. Ida pikir, keluarganya sudah mulai terbantu dengan penghasilan adiknya kelak. Meski Ida tahu, upah kerja pabrik bagi adiknya sangat minim sekali. Tapi itu barangkali cukup untuk menghidupi kebutuhan keluarganya sehari-hari.
Ida memang merasa harus mulai menerima kenyataan. Ia sudah berumah tangga dan pengalaman baru ini akan coba ia jalani dengan baik. Meski ia bilang pada ibunya, godaan seringkali datang. Suaminya seringkali mengeluh bosan dengan makanan yang Ida masak sehari-hari. Makanan yang itu-itu juga. Mendengar itu seringkali ibunya khawatir dan tak segan memberi uang tambahan pada Ida untuk kebutuhan sehari-hari.
Tapi setelah beberapa minggu usia pernikahan Ida dan Karim, kesedihan yang sebenarnya baru dimulai. Ida mendengar kabar suaminya selingkuh dengan Lilis, mantan pacar suaminya. Ida sakit hati mendengar kabar itu. Perasaannya sangat terpukul. Dengan amarah yang tak tertahankan, Ida mulai menanyakan kabar itu pada suaminya. Ia mendesak agar suaminya mengakui perselingkuhannya. Awalnya Karim mengelak, pertengkaran pun tak bisa dihindari. Sampai akhirnya Karim mengakui perselingkuhan dan ia malah balik marah-marah, merasa paling benar, bahkan berlaku kasar pada Ida. Rambut Ida di jambak. Muka Ida di cakar. Karim memaki-maki Ida hingga membuat Ida sakit hati dan menangis. Ida shok, dan mengadukan masalah suaminya itu pada orang tuanya. Bapak dan ibunya seolah tak bisa apa-apa. Mereka hanya menyuruh Ida untuk sabar saja. Bapak bilang, pamali melawan suami. Pamannya juga kini tak mau tahu urusan rumah tangga mereka. Dia kabur.
Ida memang pernah bilang pada ibunya, suatu hari Karim pernah punya niat mencari isteri muda. Tapi saat itu Ida menolak. Ida bilang mungkin suaminya terpengaruh oleh sebagian orang di desa ini yang punya isteri dua. Saat itu Ida bilang pada suaminya mereka orang-orang punya duit, sedangkan Karim hanya tukang becak. Karuan saja saat itu Karim tersinggung dan marah besar. Terjadilah pertengkaran diantara mereka.
Beberapa hari kemudian, setelah pertengkaran itu, terdengar kabar Karim selingkuh. Mengetahui suaminya selingkuh, Ida tak terima. Ida memutuskan untuk minta cerai pada Karim. Tapi keinginan itu dihiraukan suaminya. Ida malah dibentak-bentak dan ditampar. Karuan saja Ida kian tak tahan hidup dengan Karim. Ia pun tak takut terus mendesak minta cerai pada Karim. Tapi Ida kesulitan mengajukan cerai. Ida malah dibingungkan masalah alasan-alasan cerai, peraturan yang berbelit-belit dan pengajuan yang seringkali diabaikan begitu lama. Sementara Karim hilang berminggu-minggu, entah kemana. Suatu hari, Ida bertemu dengan Karim. Mulai saat itulah akhirnya mereka bercerai. Dan karim, menurut kabar, kembali bersama pacarnya dulu.
Perasaan Ida terguncang dengan kejadian itu. Hari demi hari Ida terlihat murung. Ia seringkali mengurung diri di kamarnya. Sesekali menangis dan marah-marah. Ia tak mau mendengar obrolan-obrolan tak enak dari tetangga. Ia ingin sekali pergi dari kampung ini. Ida stress. Kedua orang tuanya semakin sedih melihat kondisi anaknya. Mereka berusaha menghibur. Mereka berusaha mengobati persaan anaknya yang hancur...
***

Beberapa bulan lewat. Ida sudah mulai melupakan ingatan pengalaman buruknya dengan Karim. Ia sudah mulai mau keluar rumah dan berusaha menghibur diri. Sesekali ia ikut bersama teman sekampungnya jualan di pasar. Atau ikut bekerja bersama ibunya yang buruh tani. Sampai suatu hari, ia diperkenalkan oleh temannya pada lelaki asal Lembang. Namanya Lukman. Tak lama lelaki itu mengajak Ida kawin. Setelah dipikir lama dan perasaan lain untuk mengurangi setiap beban yang menimpa dirinya, Ida memutuskan untuk menikah lagi. Ia berharap pernikahannya kali ini dapat melupakan luka hatinya dan suaminya yang baru mampu menolong kehidupannya, juga nasib keluarganya.
Setelah pernikahan sederhana itu, Ida diboyong oleh suaminya tinggal bersama keluarga suaminya di Lembang. Awalnya Ida menolak. Tapi setelah suaminya berkali-kali membujuk, akhirnya Ida mau. Di bulan pertama, kehidupan rumah tangga mereka di Lembang berjalan apa adanya. Suami yang bekerja jadi buruh pabrik akan memberinya nafkah 50.000/ bulan. Tak lama kemudian Ida hamil. Ida sangat gembira. Baru pertama kalinya dia hamil. Ia ingin cepat mengabari orang tuanya di Bandung. Tapi sejak masa kehamilan itu, suasana kehidupan rumah tangganya mulai berubah. Selama kehamilannya Ida tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari suaminya. Suami jadi bersikap tak acuh, dingin dan jarang pulang ke rumah.
Bahkan, ketika suaminya tak ada di rumah, Ida diperlakukan tak wajar oleh keluarganya. Kalau mau makan nasi satu piring saja Ida disuruh harus menyabit rumput dulu satu karung untuk makan kelinci. Kejadian itu berlangsung lama. Ida coba mengeluh hal itu pada suaminya, tapi tak dipedulikan. Karena tidak tahan dengan penderitaannya, Ida akhirnya meminta suaminya untuk mengantarkannya pulang ke Bandung. Ida mengeluh pada keluarganya soal kehidupan rumah tangganya di Lembang. Kemudian orang tua Ida memintanya tinggal di Bandung selama kehamilan.
Mereka khawatir dengan perempuan mengandung. Mereka jadi ingat kematian Isah saudara warga sekampung saat hamil karena tak terurus. Merekapun tak mau kejadian itu menimpa anak mereka. Sebisa mungkin mereka mengurus kehamilan Ida di rumah. Tapi, beberapa minggu tinggal di rumah, bayi dalam kandungan Ida meninggal. Ida sangat sedih sekali menghadapi kenyataan ini. Ia seringkali lama menangis di hadapan orang tuanya, menyesali nasibnya. Bahkan Lukman jarang menengoknya ke Bandung. Ia benar-benar tak peduli.
Ketika Ida mengabari Lukman soal meninggalnya bayi mereka, Lukman malah marah-marah dan menuduh Ida tak becus ngurus bayi dalam kandungan. Saat Ida balik menuduh Lukman tak memperhatikannya selama kehamilan, Ida malah ditampar. Pertengkaran hebat pun terjadi. Kekerasan fisik menimpa Ida. Ia terus dimaki-maki, disebut isteri yang tak becus ngurus rumah tangga dan sebagainya. Ida sakit hati. Tak lama setelah itu, akhirnya pernikahan yang kedua Ida berakhir dengan perceraian.
Setelah kejadian cerai yang kedua kalinya itu, Ida mulai sakit-sakitan. Kondisi tubuhnya sangat menyedihkan. Kedua orang tuanya sudah sangat khawatir dengan kondisi Ida. Mereka pun sebisa mungkin merawatnya. Ada tetangga yang menyarankan untuk membawanya ke puskesmas yang letaknya lumayan jauh dari kampung ini. Tapi mereka menolak. Mereka malah memanggil dukun dari kampung tetangga untuk mengobati penyakit Ida. Karena mereka percaya dan terbiasa. Karena biayanya lebih murah bagi bapak dan ibu Ida yang hanya buruh tani. Tapi pengobatan dukun itu tak mampu membuat Ida sembuh. Setelah itu, hari demi hari, kedua orang tua Ida hanya pasrah. Mereka berusaha merawat Ida apa adanya.
Beberapa minggu kemudian, sakit demam Ida mulai lumayan sembuh. Ida sudah mulai bisa makan dan jalan-jalan. Tapi belakangan, kedua orang tua Ida mulai heran dan takut dengan kondisi Ida beberapa hari ini. Ibu Ida yang menceritakan dengan khawatir pada bapak tentang Ida yang berlama-lama melamun sendirian dan tak mau bicara sedikitpun pada ibunya sendiri. Jika ditanya, Ida tak pernah menjawab. Ibunya juga bilang, sesekali mendengar Ida bicara sendirian. Karuan saja bapak Ida kaget bukan kepalang. Mereka berdua akan menanyai Ida lama-lama, tapi mereka hanya mendengar Ida yang marah dan menangis. Ibu dan bapaknya khawatir, meski mereka masih lega karena Ida masih bisa makan dan mandi seperti biasanya. Hanya saja ia lebih sering menyendiri, tak mau bicara dengan siapapun. Tak jarang dia marah-marah dan sesekali bicara sendirian.
Orang tua Ida memutuskan kembali mengobati anaknya ke dukun. Saat Ida hendak dibawa ke dukun, Ida marah dan teriak-teriak bahwa ia sehat. Kemarahan itu memuncak saat bapaknya bilang Ida setengah gila, perlu diobati. Ida menangis sejadi-jadinya. Histeris. Ia bilang, ia tidak gila. Tapi orang tua Ida masih khawatir. Mereka tak habis akal. Bapaknya mengundang dukun dari luar kampung itu datang ke rumahnya. Tapi beberapa hari diobati dukun, Ida masih dianggap belum waras. Mereka terus bolak-balik ke tempat dukun membawa beberapa rupiah uang dan makanan seadanya sekedar membujuk dukun. Tapi alih-alih membuat Ida lebih baik, kedatangan dukun itu malah membuat Ida tambah marah. Ida mengaku tidak gila. Ida teriak. Ida menangis di kamarnya. Ida mengurung diri. Melihat kejadian itu, orang tua Ida akhirnya berhenti meminta dukun di luar kampung itu datang lagi ke rumah mereka.
Hari demi hari berganti. Orang tua Ida sesering mungkin melakukan pendekatan pada Ida. Setelah pendekatan yang begitu lama, sedikit demi sedikit Ida akhirnya mau bicara lagi dengan orang tuanya. Mereka senang melihatnya. Hingga beberapa bulan kemudian, datang seorang laki-laki dari kampung tetangga yang berniat melamar Ida. Lelaki itu bernama Asep. Kedua orang tua Ida bingung. Mereka menjelaskan kondisi Ida seperti setengah gila. Namun Asep tetap pada pendiriannya ingin menikahi Ida dan punya niat baik akan merawat dan menyayangi Ida. Mendengar ketulusan lelaki itu, Ibu Ida merestui pernikahan anaknya. Dengan begitu, orang tua Ida berharap anaknya tak stress lagi. Agar Ida dapat tertolong. Mereka merelakannya.
Tapi berbeda dengan Ida yang saat itu tidak langsung menerima lamaran lelaki dari kampung tetangga itu. Ida malah menangis lama. Ida masih trauma. Ida malah kembali berhari-hari mengurung diri di kamarnya. Orang tua Ida mulai berusaha mencoba menghiburnya. Mereka percaya, lelaki itu sangat baik. Dia mampu merawat Ida ketimbang mereka yang sudah tua. Mereka ingin Ida bahagia. Mereka ingin Ida tak lagi berduka...
***

Berminggu-minggu Asep melakukan pendekatan dengan Ida dan orang tuanya. Ia sering main ke rumah dan perhatian pada adik-adik Ida. Suasana akrab dibangun sedemikian rupa. Hingga akhirnya Ida sudah mulai dekat denga Asep. Orang tua mereka senang melihat Ida sudah mulai mau bicara dengan Asep, dengan orang lain, dengan mereka. Orang tua Ida berharap Asep adalah lelaki terakhir dalam hidup Ida. Mereka berharap Asep dapat membahagiakan Ida yang selama ini kecewa oleh laki-laki.
Hampir sebulan Ida dan Asep membangun keakraban, akhirnya Asep kembali mengajukan niat awal ingin menikahi Ida. Awalnya Ida mengatakan belum benar-benar siap. Tapi setelah Asep berjanji akan menanggung semua biaya perkawinan, tak akan menjadi beban Ida, memperhatikan orang tua dan adik-adiknya, maka Ida pun akhirnya setuju menikah.
Pernikahan pun digelar minggu pertama bulan berikutnya. Ida dan orang tuanya, juga adik-adiknya, senang bukan kepalang. Setelah pernikahan, Ida diboyong tinggal bersama keluarga suaminya. Berbulan-bulan pernikahan mereka adem ayem. Ida berharap ini pernikahan terakhirnya. Ida berharap Asep benar-benar menyayanginya. Tapi lama kelamaan keluarga Asep makin tak wajar memperlakukannya. Ida merasakan sikap Asep juga mulai berubah.
Ida merasakan, belakangan ini bukan kasih sayang yang diterimanya. Ida malah makin diperlakukan sebagai seorang pembantu rumah tangga. Ida mencoba bersabar dan menganggap semua itu cuma godaan. Ida mulai melupakan perasaan-perasaan tak enak selama ini dengan menyibukkan diri mengurus pekerjaan rumah. Lagipula belakangan Ida merasa tengah ngidam. Ida mulai menceritakan gejala kehamilan ini pada suaminya, dan berharap Asep mau lebih memperhatikannya. Ida berharap Asep mau membantu memenuhi kebutuhannya selama ngidam.
Tapi Ida sedih sekali ketika melihat sikap Asep yang tak tampak senang mendengar kabar kehamilan ini. Suatu hari, Ida ngidam ingin buah, Ida minta pada suaminya. Tapi Asep malah marah-marah. Alasannya capek lah, sibuk lah. Bahkan ada kejadian yang membuat Ida takut. Saat itu Ida minta dibelikan buah, tapi tak digubris. Lantas Ida bertanya kenapa akhir-akhir ini Asep berubah. Tapi bukan sikap ramah dan jawaban yang diterima Ida. Suaminya malah melempari Ida dengan pisau. Untungnya pisau itu cuma mengenai bilik rumah. Tapi saat itu Ida menganggap Asep sudah keterlaluan. Hal itu sering terjadi berulang kali, kadang pelemparan pisau atau benda lain dilakukan di tempat tidur. Ida ketakutan.
Hari demi hari sikap kasar suaminya sudah membuat Ida benar-benar tak tahan. Sikap yang tak ramah, ucapan yang memaki sampai kekerasan fisik yang dilakukan suaminya membuat Ida takut. Selama ini kasih sayang tak pernah hadir lagi. Keluarga Asep juga tak membantu kesulitannya. Mereka bilang itu urusan suami-isteri. Karena tak tahan dengan perlakuan suaminya, Ida kabur ke rumah orang tuanya. Ida menceritakannya semua yang dialaminya selama berumah tangga dengan Asep. Orang tua Ida terkejut bukan main. Ternyata penderitaan Ida berulang. Mereka terus menanyakan pada anaknya apakah Ida melakukan kesalahan pada suaminya. Ida bilang, Ida setia. Ida bilang, Ida isteri baik. Selebihnya Ida menangis lama. Ida sakit hati.
Orang tua Ida juga terkejut mengetahui kekacauan rumah tangga anaknya terjadi ketika Ida memulai kehamilannya. Mereka kembali merasa khawatir. Keesokan harinya, Asep datang dan meminta Ida untuk pulang, namun Ida tidak mau. Orang tua Ida juga menolak. Asep marah dan menganggap orang tua Ida sudah turut campur urusan rumah tangga mereka. Orang tua Ida terkejut melihat sikap Asep yang tiba-tiba berubah. Asep memaki Ida. Asep memaksa Ida pulang. Ida malah menjerit-jerit. Ida menolak.
Kejadian yang membuat orang tua Ida pedih melihatnya ketika suaminya menonjok perut Ida yang lagi hamil muda hanya karena Ida menolak dan melawan. Orang tua Ida berusaha menolong Ida, tapi Asep berlaku kasar. Orang tua Ida hanya bisa menahan marah. Mereka hanya bisa pasrah, tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya dengar bahwa Asep bilang dia lebih berhak atas Ida. Bahkan Asep sesumbar bahwa ini adalah urusan rumah tangganya, orang tua jangan ikut campur, orang lain jangan ikut campur. Asep bilang Ida sudah berani melawan suaminya, jadi harus diberi pelajaran.
Akhirnya Ida terpaksa kembali ke rumah suaminya. Sepanjang jalan Ida menangis. Sepanjang jalan Ida dimaki. Bahkan bukannya ketentraman ketika Ida tinggal kembali di rumah orang tua Asep. Ida malah dimaki-maki isteri durhaka, melawan suami. Ida dituduh kurang ajar karena kabur tanpa sepengetahuan suami. Semakin sedih Ida mendengarnya. Berbulan-bulan tekanan berat penderitaan itu menindihnya. Sementara usia kehamilan semakin tua.
Lantas Ida mohon pada suaminya untuk pulang ke rumah orang tuanya karena usia kehamilan sudah tua. Ia ingin melahirkan di rumah bapak dan ibunya. Lama permintaan itu tak di gubris. Tapi, setelah berkali-kali meminta, akhirnya Asep mau mengijinkan Ida pulang. Selama kehamilan di rumah orang tuanya, Asep tak satu kalipun menengoknya. Bahkan ketika terasa akan melahirkan pun, Asep tak mau datang menemani Ida. Adik Ida sengaja menjemputnya. Tapi berulangkali Asep mengatakan ia sibuk. Keluarga Asep pun tak mau menengok Ida.
Sampailah tiba anak Ida lahir dengan bantuan paraji (dukun beranak). Anak Ida lahir dengan selamat. Tapi setelah melahirkan, penyakit Ida tambah semakin parah. Badan Ida demam. Hari demi hari, Ida tampak seperti orang linglung. Orang tua mereka khawatir dengan Ida. Mereka khawatir dengan kondisi tubuh Ida yang belum lama ini baru melahirkan. Lama kelamaan Ida semakin aneh. Ida sering tertawa dan menangis sendiri. Karena khawatir dengan kondisi anaknya, orang tua Ida berniat mencoba memeriksakan anaknya di sebuah Rumah Sakit di kota Bandung. Untuk biaya rumah sakit, orang tua Ida terpaksa menjual sawah, satu-satunya harta keluarga. Sawah yang tidak seberapa luasnya. Barangkali cukup untuk biaya pengobatan Ida.
Hari demi hari belum ada kejelasan dari pihak rumah sakit tentang perkembangan kesehatan Ida. Sementara tuntutan biaya dari rumah sakit semakin membengkak. Orang tua Ida kewalahan. Orang tua Ida kehabisan biaya. Mereka bingung. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk minta pertolongan dari pihak desa, namun sedikitpun tidak pernah ada bantuan untuk meringankan biaya pengobatan Ida. Setengah memaksa, ibu Ida meminta pertolongan aparat desa untuk mengantarnya ke rumah sakit. Mereka menolak. Tapi Ibu Ida terus meyakinkan bahwa ia dan keluarga kesulitan selama berada di rumah sakit. Mereka kesulitan dalam berkomunikasi, karena tidak bisa baca-tulis dan tidak mengerti bahasa Indonesia yang digunakan oleh dokter di rumah sakit. Akhirnya aparat desa mau menemani keluarga Ida selama di rumah sakit. Sampai akhirnya pihak rumah sakit mengabarkan bahwa Ida harus dirawat inap di Rumah Sakit HS. Selama di rumah sakit, orang tua Ida terus mengabari Asep tentang kondisi Ida. Lantas orang tua Ida memutuskan untuk menitipkan sementara anak Ida di keluarga Asep sembari mengharap mereka untuk memberi bantuan biaya pengobatan Ida. Tapi keluarga Asep tak memberi jawaban soal biaya. Mereka diam. Mereka bungkam...
***

Selama satu minggu dirawat di rumah sakit, orang tua Ida memohon pihak rumah sakit memberi izin mereka membawa Ida pulang ke rumah. Setelah dipastikan kondisi kesehatan Ida lumayan membaik, akhirnya pihak rumah sakit mengizinkan Ida pulang. Tapi pihak rumah sakit tidak menjamin kesehatan fisik dan mental Ida benar-benar akan baik jika tidak didukung perawatan dan penjagaan yang maksimal selama di rumah.
Sehari setelah Ida tinggal di rumah, Ida mulai menanyakan keberadaan anaknya. Orang tua Ida menceritakan bahwa anak Ida dititipkan pada keluarga Asep dengan bekal yang cukup. Ida mulai khawatir mendengar kabar itu dan dia minta untuk segera mengambil anaknya dari keluarga Asep. Bahkan Ida sempat marah-marah kenapa orang tuanya menitipkan anaknya pada keluarga Asep. Orang tua Ida hanya diam. Setelah malam tiba, barulah orang tua Ida segera berangkat berniat mengambil anak itu.
Setibanya di rumah keluarga Asep, orang tua Ida tak menemukan anaknya. Mereka juga tak menemukan Asep. Orang tua Asep mengatakan bahwa anak itu diambil Asep dan sudah dua hari Asep belum pulang ke rumah. Mereka mengaku tidak tahu Asep pergi kemana. Mereka justeru mengira Asep membawa anaknya ke rumah sakit.
Orang tua Ida menunggu lama kedatangan Asep di rumahnya. Akhirnya sebelum tengah malam, Asep datang. Tapi orang tua Ida tak menemukan anak itu. Mereka pun langsung bertanya dimana anak itu. Asep hanya diam. Setelah terus didesak, akhirnya dia mengaku bahwa anak itu telah dijual seharga satu juta lima ratus ribu rupiah. Uang hasil penjualan anak itu habis untuk membayar hutang dan kebutuhan sehari-harinya. Betapa terkejut orang tua Ida mendengar pengakuan itu. Mereka marah.
Kemarahan itu semakin hebat ketika Asep tak mau memberitahukan pada siapa dia menjual anaknya. Dia hanya mengaku telah menjualnya pada orang jauh. Pertengkaran pun tak terelakkan. Keributan pun pecah di rumah itu. Tapi orang tua Ida tak berdaya. Sampai akhirnya Asep mengusir orang tua Ida dengan kasar.
Tengah malam itu juga keluarga Ida pulang dengan tangan kosong, dengan hati yang sakit. Mereka takut pulang ke rumah. Mereka enggan menceritakan kabar buruk ini pada Ida. Mereka bingung. Sesampainya di rumah, orang tua Ida hanya menceritakan bahwa Asep belum memberi izin mereka mengambil anaknya. Ida marah. Ia pun berniat akan mengambilnya sendiri malam itu juga. Orang tua Ida semakin khawatir. Dengan berat hati dan tangis yang tak tertahankan, ibu Ida akhirnya menceritakan kejadian sebenarnya.
Terkejutlah Ida. Ia meraung-raung. Ia menjerit-jerit ketika mengetahui kabar anaknya dijual Asep. Ia menangis pilu. Histeris. Orang tua Ida tak tahan melihatnya. Beberapa orang tetangga datang menanyakan apa yang terjadi. Tetapi Ida murka. Ida marah pada siapapun. Ia mengusir siapapun. Ida mengamuk. Sebisa mungkin orang tua Ida mencoba mengendalikan anaknya. Sampai akhirnya Ida kelelahan. Tubuhnya lunglai. Suaranya parau. Selebihnya senyap. Hanya terdengar suara isak tangisnya. Hanya terdengar suara tangis orang tua, juga suara adik-adik perempuan Ida yang tiba-tiba terbangun dari tidur mereka.
Keesokan harinya, Asep datang ke rumah orang tua Ida. Ia mengancam. Ia menyuruh agar orang tua Ida tak menceritakan soal anak itu pada tetangga. Ia menyuruh mereka tak melaporkan kejadian ini pada polisi. Jika mereka berani lapor pada polisi, ia tak segan akan membunuh semua keluarga. Orang tua Ida ketakutan. Orang tua Ida sedih. Kejadian itu cukup lama hanya menyisakan ketakutan bagi orang tua Ida. Hanya menyisakan kesedihan di hati mereka setiapkali melihat Ida terbangun dan bersandar di bilik kamar, bicara sendiri, tertawa sendiri dan menangis sendirian. Mereka sedih. Mereka letih...
***

Hari demi hari, keanehan pada diri Ida semakin parah. Orang tua Ida akan melihat Ida yang tiba-tiba mengamuk, tiba-tiba tertawa. Mereka seolah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka sudah tak tahan melihat penderitaan anaknya. Akhirnya Ida terlantar. Kondisi tubuhnya tak terurus, rambut yang acak-acakan dan pakaian yang tak terawat. Akhirnya Ida juga luput dari perhatian orang tuanya. Ketika orang tua keluar rumah dan adik-adiknya main, para tetangga akan melihat Ida keluar dari rumah, berjalan sendirian dengan tatapan kosong, tertawa sendirian dan tak jarang mengamuk di jalanan. Orang-orang akan ketakutan.
Orang tua Ida malu dengan kejadian itu. Mereka buru-buru akan membawa Ida dari jalanan karena tak enak mendengar obrolan dari orang-orang kampung. Mereka kewalahan megurus Ida. Sampai mereka meminta bantuan pada Asep, tapi suaminya itu malah memperlakukan Ida seperti hewan. Dia akan menyeret Ida dan mengurungnya di dalam kamar terkunci. Ida dibiarkan teriak-teriak. Ia dibiarkan makan, buang hajat dan tidur di kamar yang sama. Ia diperlakukan dengan kasar dan tak wajar.
Melihat penderitaan Ida dan perlakuan suaminya itu, orang tua Ida memaksa Asep menceraikannya. Mereka berharap Asep tak lagi sewenang-wenang memperlakukan Ida. Bahkan ibu Ida memberikan Asep uang sebesar Rp. 50.000 untuk pengembalian mahar. Uang itu diambil Asep dan ia dengan kasar mengatakan bahwa ia sudah lama menceraikan Ida.
Tapi beberapa hari setelah pemberian uang dan perceraian itu, Asep bukannya pergi dari kehidupan Ida. Mantan suaminya itu malah semakin tak manusiawi memperlakukan Ida. Menurut cerita tetangga, suatu hari ketika Asep menemukan Ida duduk di pingir jalan, Asep tak segan meludahi dan memaki-makinya. Ida saat itu hanya menangis tersedu-sedu. Tak sampai disitu, Asep menyeret Ida ke rumah orang tuanya. Ia dengan kasar memasukkannya ke dalam kamar terkunci. Asep akan menamparnya berulangkali. Asep bilang, Ida sudah membuat malu keluarga. Ia bilang, Ida sering mengamuk dan membahayakan orang lain. Kejadian itu dilakukannya berulang-ulang. Tapi beberapa hari kemudain, Asep tak pernah lagi muncul ke rumah orang tua Ida. Dia kabur. Menurut cerita tetangga, Asep sudah punya pacar lagi.
Orang tua Ida sungguh tak bisa berbuat apa-apa lagi melihat kejadian demi kejadian yang menimpa Ida selama ini. Keinginan untuk mengobati Ida tak kunjung terlaksana. Harapan akan bantuan rumah sakit dan pihak desa tak pernah ada. Harapan akan bantuan tetangga tak kunjung hadir. Harapan akan bantuan mantan suaminya juga malah mengecewakan. Tapi tak henti orang tua Ida terus meminta bantuan siapapun untuk pengobatan anaknya.
Dengan perawatan apa adanya, orang tua Ida terus berusaha mengurus Ida semampu mereka. Mereka tetap bersabar menjalaninya. Tapi orang tua Ida sangat menginginkan anaknya bisa berobat lagi, tapi biayanya tak ada. Untuk menghidupi kebutuhan keluarga sehari-hari saja mereka kesulitan. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan Ida dan adiknya, ibu Ida menjadi pemulung padi bekas sisa panen dan mengandalkan penghasilan adik Ida bekerja jadi buruh pabrik. Perjuangan ibu Ida tak pernah berhenti. Ia terus mengharap bantuan orang-orang kampung. Ia terus minta bantuan dari pihak desa dan rumah sakit untuk pengobatan Ida. Meskipun seolah-olah tak pernah ada yang peduli.
Sementara Ida tetap dengan kondisi memilukan. Menurut cerita tetangga, penyakit Ida mengamuk tak pernah sembuh. Tapi anehnya, kalau penyakitnya tak kambuh, Ida masih bisa mengenal nama orang tuanya dan tahu jumlah uang untuk jajan di warung tetangganya. Mereka juga sering melihat Ida jalan-jalan di kuburan di kampung itu. Ida akan duduk berlama-lama disana, tertawa dan menangis sendiri. Mereka akan melihat Ida disana hampir setiap hari, bahkan sampai malam tiba, sampai Ibu Ida mengajaknya pulang.
Harapan Ida untuk berumah tangga tak pernah bahagia. Pengalaman-pengalaman selama masa perkawinannya membuatnya menderita. Cukup lama orang tua Ida hampir kehilangan komunikasi dengan anaknya. Mereka hanya mendengar Ida terus menanyakan dimana keberadaan anaknya. Mereka benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Mereka hanya tahu, anak Ida tak pernah kembali lagi. Mereka hanya tahu, anak Ida telah dijual mantan suaminya seharga satu juta lima ratus ribu rupiah...

Bandung, Oktober 2007
http://Bangkawarah.blogspot.com
mifka15@yahoo.com

Label:

posted by wscbandung @ 13.41, ,